Kamis, 01 April 2010

Mengader Ulama Lewat Majelis Tarjih

Zaman berubah, tantangan hidup pun kian berat. Hal serupa juga harus dihadapi oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah. Perubahan zaman dan masalah kehidupan yang semakin kompleks di tengah masyarakat mesti mendapatkan respons cerdas.

Paling tidak, mengupayakan respons seperti itulah yang dilakukan Majelis Tarjih dan Tajdid melalui Musyawarah Nasional (Munas) ke-27 yang digelar di Universitas Muhammadiyah Malang. Perhelatan ini rencananya akan berlangsung sejak 1 hingga 4 April 2010.

Menurut Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid, Syamsul Anwar, sebagai bagian penting dari Muhammadiyah, majelis yang dipimpinnya itu mengemban tugas berat dalam menyiapkan kader ulama masa depan. Tentu untuk menetapkan sejumlah fatwa atau pendapat hukum atas masalah di tengah masyarakat.

Syamsul mengungkapkan, ada tantangan eksternal berupa persoalan modernisasi dan globalisasi yang mengurangi minat generasi muda pada soal ketarjihan. ''Akibatnya, tantangan zaman kian besar, tetapi jumlah kader ulama tak banyak,'' katanya kepada Republika, kemarin.

Di sisi lain, tak seperti NU yang dikenal memiliki banyak kiai, pesantren, dan ulama, di Muhammadiyah hanya dikenal beberapa nama pesantren dan kiai. Apalagi memang, kata dia, tradisi Muhammadiyah tak mengenal gelar kiai.

Menurut Syamsul, sebagian besar pesantren Muhammadiyah juga tak menonjolkan gelar kiai. Gelar itu hanya dikenal di beberapa pesantren tua, seperti Pondok Pesantren Karangasen dan Pondok Modern Muhammadiyah.

Kedua pondok pesantren itu, ujar Syamsul, berada di Paciran, Lamongan, Jawa Timur. Ia mengatakan, kedua pesantren itu dulu memiliki kiai legendaris, yaitu Kiai Man (Abdurrahman Syamsuri) dan Kiai Wan (Ridwan Sarkowi).

Di Yogyakarta, KH Umar Effendi dikenal ketokohannya dan menginspirasi terwujudnya Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PTUM). Sedangkan di Malang, kata Syamsul, pengasuh Program Pendidikan Ulama Tarjih (PPUT) adalah KH Abdullah Hasyim. Namun, sering dipanggil Pak Dullah saja.

Syamsul mengatakan, di Yogyakarta, kiai yang mengajar santri atau mahasiswa PUTM disebut dosen atau ustaz saja. ''Padahal, kompetensinya dalam berbahasa Arab ataupun membaca kitab kuning dan tafsir, jika memang dijadikan ukuran, mereka layak disebut kiai,'' katanya.

Basis pengaderan ulama Muhammadiyah juga terdapat di Garut, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Di kedua daerah tersebut, terdapat nama pesantren yang sama, yakni Darul Arqom Muhammadiyah. Para santri di sana, jelas Syamsul, dibekali ilmu nahwu dan sharaf.

Tanpa kedua ilmu ini, mustahil santri dapat menemukan makna nas-nas dalam Alquran dan hadis. ''Alquran dan hadis berbahasa Arab demikian pula literatur tafisr. Jadi, kemampuan berbahasa Arab mutlak dimiliki ulama tarjih,'' kata Syamsul.

Di sisi lain, Syamsul menegaskan pula salah satu ciri ulama itu harus berintegrasi dengan masyarakat. Ia menilai bahwa simbol-simbol keulamaan atau kekiaian tak perlu ditonjolkan. Namun yang penting, bagaimana mereka terjun ke masyarakat.

Sementara itu, Rektor Universitas Muhammadiyah Malang, Muhadjir Effendy, mengatakan, Munas Majelis Tarjih dan Tajidid, di antaranya akan memberi perhatian pada fikih Al Maun dan muamalah. Ini memperlihatkan bagaimana keberpihakan sosial Muhammadiyah.

Muhadjir yang juga anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, menyatakan, selama ini Muhammadiyah dikenal sangat suka beramal saleh, ikhlas, dan mengutamakan tangan di atas daripada tangan di bawah.

Namun, Muhadjir mengungkapkan, sering karena keikhlasannya itu Muhammadiyah tak jarang lupa mengurus amal usahanya. Sehingga, kata dia, amal usaha Muhammadiyah diserobot oleh pihak lain. Ini harus menjadi perhatian. syahruddin, ed: ferry

Berita:
Republika Online
koran dot republika dot co dot id /koran/14/107564/Mengader_Ulama_Lewat_Majelis_Tarjih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar