Oleh: Anwar Hudijono
Fatwa haram merokok yang disuarakan Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah memeroleh reaksi penentangan yang luas, bahkan keras. Mulai kalangan internal Muhammadiyah sendiri, kalangan petani tembakau dan cengkeh, pabrikan, dan tentu saja perokok.
Argumentasi mereka pun beraneka ragam. Ada yang berpendapat fatwa itu terlalu cepat karena belum ada langkah permulaan yang memuaranya ke fatwa tersebut. Ada yang melihat fatwa itu lepas dari realitas kehidupan masyarakat karena di Jawa Timur saja ada ribuan orang yang hidupnya berkaitan dengan rokok seperti buruh pabrikan, petani tembakau, buruh pabrik kertas pembungkus rokok, pedagang, dan pengecer rokok.
Kritik paling tajam bahwa Muhammadiyah hanya bisa melarang atau mengharamkan tetapi tidak bisa memberikan jalan keluar. Misalnya, bagaimana jalan keluar bagi mereka yang sudah kecanduan merokok? Bagaimana mereka yang sudah telanjur bekerja di pabrik rokok? Padahal, lapangan kerja adalah persoalan hidup mati.
Di samping itu, ada pula yang mempertanyakan implikasi syar'i (hukum agama) bagi fatwa itu. Misalnya, apakah cukai yang diperoleh dari rokok juga termasuk haram? Apakah hasil berjualan rokok atau bekerja di pabrik rokok juga haram. Apakah menanam tembakau dan cengkeh yang jelas-jelas ditujukan untuk rokok juga haram?
Bombardir kritik dan pertanyaan yang bersifat menggugat merupakan ujian keteguhan sikap Muhammadiyah terhadap fatwanya. Apakah Muhammadiyah gentar atas reaksi penentangan tersebut sehingga diam- diam mundur atau setidak-tidaknya berdiam diri dan membiarkan fatwanya itu seperti macan kertas. Fatwa itu seolah sekali memekik setelah itu mati.
Karena membiarkan fatwa menguap atau seperti macan kertas adalah tindakan tidak terpuji, yang dituntut berikutnya adalah bagaimana mengelola fatwa itu sehingga tetap punya kekuatan, bisa berjalan betapapun lambat dan kecil. Konsep pengelolaan ini seyogianya menjadi pembahasan dalam Musyawarah Nasional Ke-27 Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Malang, 1-4 April 2010.
Untuk itu ada beberapa kaidah yang bisa dipakai referensi dalam mengelola fatwa tersebut. Pertama, fatwa itu tetap produk ijtihad karena di dalam Al Quran maupun hadis tidak ada ketetapan hukum yang jelas terhadap merokok. Berbeda dengan hukum minuman keras (khamr), zina, riba, dan sebagainya.
Lantaran fatwa haram merokok itu produk ijtihad, maka kebenarannya adalah bersifat relatif. Dengan demikian, dibutuhkan toleransi yang tinggi terhadap ketetapan hukum lain terhadap merokok, misalnya halal, makruh atau mubah. Di sinilah sikap moderat Muhammadiyah diuji.
Kedua, realisasi fatwa hendaknya dimulai dengan ifdak bi nafsih atau dimulai dari diri sendiri dulu. Misalnya dimulai dengan larangan merokok di lingkungan aset milik persyarikatan seperti kampus, sekolah, rumah sakit, dan kantor Muhammadiyah di seluruh tingkatan.
Dengan demikian, pengharaman tidak langsung ditujukan kepada warga Muhammadiyah sendiri secara individual karena akan sulit dan sangat berat bagi seseorang yang sudah bertahun-tahun jadi perokok berat. Perokok berat yang tiba-tiba dilarang mungkin bisa stres. Jadi mirip-mirip proses pengharaman minuman keras pada zaman Rasulullah SAW. Pada awalnya hanya dilarang shalat saat mabuk karena minum minuman keras. Lama-lama minuman keras sebagai suatu yang haram menjadi hukum yang berdiri sendiri.
Ketiga, dikomunikasikan kepada masyarakat secara bijaksana dan dengan ajakan yang baik tentang "rahasia" di balik fatwa haram. Muhammadiyah harus betul-betul menguasai secara ilmiah madarat merokok bagi kehidupan. Selain itu, juga harus siap dengan dalil- dalil naqli (Al Quran dan hadis yang jadi referensinya).
Dengan demikian, Muhammadiyah harus terus melakukan dialog dengan berbagai elemen masyarakat tentang fatwanya. Mencoba "memasarkan" fatwanya itu agar menjadi milik pihak lain pula. Misalnya agar bisa menjadi peraturan daerah baik tentang kawasan terbatas merokok, kawasan bebas rokok, sampai perda larangan merokok.
Keempat, jangan rendah diri atau merasa leceh jika ternyata fatwa haram merokok ini tidak banyak memberikan resonansi apa-apa. Bukan mustahil nanti akan ada yang mencibir atau melecehkan terhadap fatwa itu jika ternyata produk rokok tidak turun, justru malah naik.
Jangankan fatwa yang bersifat hasil ijtihad, ketentuan hukum Allah yang qath'i (jelas) seperti minuman keras, zina, riba, saja diabaikan.
Yang perlu dipegang pula oleh Muhammadiyah bahwa sebenarnya banyak pula yang memuji dan mendukung keberanian Muhammadiyah menelurkan fatwa ini. Dinilai sebagai "watak tajdid" asli Muhammadiyah. Muhammadiyah tetap memegang prinsip qulil haqqa walaukana murran (katakanlah kebenaran sekalipun pahit).
Sumber: Kompas Online
Menegakkan dan Menjunjung Tinggi Agama Islam terwujud Masyarakat Islam yang Sebenar-benarnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar