Sabtu, 23 Oktober 2010

Haji dan Realita Sosial

Realita dan Harapan
Oleh: Drs. Usman Kasmin

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.
[QS. Ali Imraan (3): 97]
Ibadah Haji adalah termasuk rukun Islam yang kelima, yang disyariatkan untuk setiap muslim yang mukallaf untuk melaksanakan sesuai dengan syarat dan rukun yang telah ditetapkan syara', termasuk persyaratan yang secara khusus, ditetapkan Allah adalah "istathaa" –mampu- dan inilah yang menarik untuk dibicarakan, sebab ibadah haji termasuk ibadah badaniyah, ruhaniyah, amaliyah.

Seorang calon jamaah haji yang disebut mampu secara fisik, yakni apabila selama melakukan perjalanan wajib tersebut dalam keadaan sehat dan kuat, terhindar dari segala penyakit sehingga tidak mengganggunya ketika beribadah atau mengganggu orang lain, selama melaksanakan ibadah haji. Sebab saat melaksanakan prosesi ibadah haji tersebut dia harus berjuang di tengah jutaan manusia yang mempunyai satu tujuan dan maksud yang sama pada saat yang bersamaan.

Seorang calon jamaah haji dianggap mampu kalau sudah menyiapkan diri dengan pengetahuan yang cukup tentang prosesi ibadah haji, yang banyak mengandung pelajaran-pelajaran yang sangat berharga yang dicontohkan oleh para nabi dan rasul pilihan untuk kita jadikan I'tibar dalam kehidupan, yang diharapkan kelak tidak hanya dirasakan oleh individu secara pribadi tetapi juga sebagai acuan dari masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di sinilah peranan manasik haji menjadi urgen untuk dilaksanakan. Kalau tidak maka akan menjadi lelucon manakala sudah berada di tanah suci dan sedang melaksanakan prosesi ibadah haji dan sekaligus berdampak pada sempurna tidaknya ibadah hajinya tersebut.

Seorang calon jamaah haji disebut mampu kalau ia mampu menyiapkan sejumlah dana untuk ongkos perjalanan ke tanah suci dan pulangnya serta biaya hidup untuk orang yang menjadi tanggungannya yang ditinggal selama melakukan perjalanan wajib tersebut, dengan demikian tidak dibenarkan berangkat haji dengan menjual lahan yang menjadi sumber penghasilah utamanya atau menggunakan modal dagang yang menyebabkan setelah haji dia menjadi miskin dan kelak menjadi beban bagi masyarakat.

Seorang calon jamaah haji harus memiliki motivasi yang kuat, untuk menunaikan kewajiban terhadap Allah tersebut. Tidak ada alasan untuk tidak melaksanakan ibadah haji dengan berdalih belum mendapat "panggilan" pada hal segala persyaratan sudah lengkap. Fisik, muda dan kuat. Psikologis sangat mendukung termasuk sudah memadai ilmu yang berhubungan dengan tata cara pelaksanaan ibadah haji tetapi hanya karena alasan belum dipanggil maka mereka belum menunaikan ibadah haji, padahal Allah sudah memanggil mereka.

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيق
Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh,
[QS. al-Hajj (22): 27]
Seruan itu telah datang dari Allah lewat Nabi Ibrahim AS, sekaligus memberi contoh secara langsung lewat napak tilas yang dilakukan selama ibadah haji. Oleh karena itu seseorang yang melakukan ibadah haji diharapkan mampu mengambil ibrah di dalamnya sebagai proses
pembe1ajaran untuk umat manusia di kemudian hari termasuk umat Islam di Indonesia. Sejauh mana mereka dapat menyerap dan mengaplikasikan dalam kehidupan nyata setelah pulang dari menunaikan ibadah haji.

Mabrur adalah ungkapan yang sering kita dengar di setiap hajatan seseorang yang berhaji, sebutan haji yang diterma oleh Allah SWT. Rasulullah saw. bersabda : "Haji yang mabrur tiada balasan baginya selain surga" diharapkan ada perubahan yang mendasar mulai dari dasar keyakinan yang makin mendalam, perilaku muamalahnya, dan akhlaknya yang mewarnai setiap aspek kehidupan. Keyakinan yang menjadi landasan setiap aktifitasnya akan berubah total dalam hidupnya. Terutama terhadap semua fenomena, segala sumber kekuatan dan segala keyakinan yang non ilahiyah dia buang dan diganti dengan keyakinan yang utuh hanya kepada Allah.

Jika dia seorang pejabat, mabrur pula di setiap kebijakan publik yang ia buat. Dia tidak perlu ragu akan kebijakan yang memihak kepada rakyat banyak. Menggunakan pemasukan Negara dari sumber daya slam sepenuhnya untuk kesejahteraan masyarakat karena sesuai dengan amanat visi dan misi Bangsa yaitu Beriman dan Bertaqwa Kepada Tuhan Yang Mahe Esa, karena itu kalau selama ini ada kebijakan dari generasi terdahulu yang indikasinya tidak dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat banyak sebaliknya hanya diperuntukan untuk kepentingan sesaat dan hanya dinikmati oleh kelompok dan golongan tertentu saja, maka dia di recall menggantikan dengan yang baru sehingga dapat dinikmat oleh masyakat secara merata. Kalau ada produk hukum yang tidak memihak pada pentingan rakyat jelata maka diganti dengan yang baru yang lebih pro rakyat. Dan ini berlaku untuk segala aspek kehidupan dibawah kepemimpinannya, sebab die radar bahwa "masing-masing kamu adalah pemimpin dan masing-masing pemimpin akan diminta pertanggung jawaban atas ape yang dipimpinnya"(al-Hadits).

Jika setiap individu dalam strata kehidupan masyarakat punya kesadaran yang sama tentang arti sebuah perubahan yang mendasar dalam segala aspek kehidupan ke arah perbuatan shaleh, kesalehannya tidak lagi bersifat individu tetapi meningkat menjadi keshalehan kolektif. Barangkali inilah yang dimaksud dengan undangan Allah untuk mengunjungi Baitullah dan sekaligus menapaktilasi proses edukasi yang dilakukan oleh Nabi Allah Ibrahim As atas pembentukan karekter ummat (bangsa) sehingga melahirkan baldatun tayyibatun warabbun ghafuur.

Tentu saja sebagai bangsa yang paling banyak rakyatnya yang pergi haji, dan pemerintah adalah sebagai KBIH terbesar didunia, maka kalau kita cerdas seharusnya forum kongres akbar umat Islam terbesar di jagad raya ini semestinya bangsa Indonesialah yang terbesar memberikan kontribusi bagi kemajuan umat Islam di dunia dan ke dalam umat Islamlah yang menjadi pelopor pembentukan karakter building. Tapi walaupun setiap tahun kita rasakan ONH semakin mahal, animo umat Islam semakin meningkat sehingga, untuk bisa pergi haji saja harus menunggu dalam waiting list sampai tujuh tahun terhitung setelah setoran awal ONH, kita belum merasakan
kontribusi keshalehan kolektif dalam kehidupan barbangsa dan bernegara. Dibanding para pendahulu kita. Para pejuang - pejuang bangsa, pahlawan pahlawan Nasional setelah pulang haji merekalah yang menjadi pelopor pejuang pembentukan karakter bangsa seperti tidak rela bangsanya di jajah oleh para kolonial, salah satu diantaranya yang intens melakukan gerakan pencerahan yang sampai sekarang kita dapat merasakan hasilnya yaitu persyarikatan
Muhammadiyah. Itulah, salah satu dari mabrurnya ibadah haji.

Namun apakah hal yang sama kita rasakan sekarang? Ada banyak keshalehan individu kita jumpai dalam masyarakat tetapi belum bisa dirasakan secara kolektif karena itu, kita juga tidak banyak menjumpai, ada pencerahan-pencerahan kolektif seperti yang dilakukan oleh pendahulu pendahulu kita. justru semakin banyak kita rasakan ketimpangan sosial, menurunnya moral anak bangsa bahkan dilakukan secara kolektif. Jelas sangat bertolak belakang dengan misi Allah mengundang kaum muslimin untuk mengunjungi baitullah untuk menimbah pembelajaran hidup dari Nabi Ibrahim yang selanjutnya dijadikan modal dasar untuk pembentukan karaktek bangsa.

Diantara realitas sosial lainnya dari ibadah haji, adalah ada yang menjadikannya sebagai mode, ekspresi status sosial, jelas model semacam ini tidak berdampak sedikitpun terhadap diri pribadi apalagi dirasakan masyarakat umum.

Selanjutnya kita juga menaruh harapan besar, akan ada perubahan yang mendasar dilandasi kesadaran dari penyelenggara haji bahwa calon jamaah haji bukan serta merta orang kaya, bahkan sebaliknya CJH umumnya bekerja keras dan segala potensi hidup yang pada mereka, menyisihkan sebagian penghasilan, menabung dan menabung sampai betahun-tahun bahkan hampir sepanjang hidup mereka. Mereka adalah buruh tani, nelayan, pembantu rumah tangga, penjual rokok di pinggir jalan dan rakyat desa, yang memangkas sebagian pengeluaran mereka demi memenuhi kewajiban untuk menunaikan rukun Islam kelima itu. Betapa tega orang yang menjadikan kepolosan rakyat kecil, yang membela dan menegakkan agamanya yaitu menyempurnakan ibadahnya. Betapa, mereka gembira karena dapat memeras di atas kepolosan rakyat kecil dan melupakan misi agung dari ibadah haji.

Wallahu a'lam bi shawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar