Selasa, 23 Februari 2010

ABK Harusnya Jadi Anak Negara

Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) seharusnya menjadi tanggungan negara. Konvensi internasional maupun kontitusi negara mengamanatkan agar anak-anak yang abnormal maupun yang extraordinari itu memiliki hak asasi memperoleh pendidikan yang sama dengan anak-anak yang normal. Walau demikian, problem yang sering dihadapi masih seputar kesiapan sekolah, guru maupun lingkungan sosial yang belum bisa menerima.

Demikian salah satu poin yang mengemuka dalam Simposium Nasional Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus di UMM Dome, Minggu (21/2). Acara yang diadakan Fakultas Psikologi UMM itu diikuti 200an peserta yang sebagian besar dari guru bidang studi dan Bimbingan Konseling sekolah Muhammadiyah se-Jawa Timur. Simposium dibuka Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim, Prof. Dr. Syafiq Mughni. Tampil dalam keynote speech Direktur Pendidikan PSLB Kementerian Pendidikan Nasional, Dr. Ekodjatmiko Sukarso dan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Dr. Muhadjir Effendy, MAP.

Muhadjir sepakat dengan statemen Mendiknas M. Nuh bahwa pendidikan Indonesia bersifat non-diskriminatif. Itu berarti, semua warga negara harus memperoleh pendidikan, minimal pendidikan dasar. ABK seharusnya menjadi “anak negara”. Artinya, negara harus mengusahakan 100% kebutuhan pendidikan bagi anak disable maupun anak berbakat istimewa. “Mereka adalah aset negara. Oleh karenanya jangan sampai ada anak yang karena kekurang sempurnaannya tidak bisa diterima sekolah, maupun anak yang super cerdas diambil oleh negara lain, dimanfaatkan kepintarannya,” kata Muhadjir.

Lebih lanjut, Muhadjir mengkritik, salah satu problem pendidikan inklusif yang nondiskriminatif adalah karakter guru. Seringkali guru kurang menghayati profesinya sebagai panggilan jiwa (personal calling), apalagi jika sudah menyangkut urusan sertifikasi. “Karakter guru yang dibangun dari panggilan jiwa akan melayani muridnya dengan sepenuh hati, sebagai tanggung jawab sosialnya. Jadi faktor instrinsik dari diri lebih dominan daripada ekstrinsik dari tunjangan profesi atau yang lainnya,” tambah Muhadjir.

Sementara itu Ekodjatmiko memprihatinkan masih lemahnya mindset para pendidik tentang penanganan ABK. Masih banyak pihak yang memandang ABK sebagai masalah, sehingga banyak dalih dikemukakan oleh sekolah untuk menolaknya. “Ke depan, karena peraturan menteri sudah ada, maka tidak boleh ada lagi diskriminasi seperti ini,” tegas Direktur PSLB yang akan mengakhiri jabatannya bulan depan itu.

Sebelumnya, Syafiq Mughni mengemukakan, ajaran Islam sangat menolak diskriminasi. Muhammadiyah sendiri, akan terus bergerak untuk tetap menjadi pelopor bagi pendidikan inklusif dan mengambil peran lebih bermakna bagi masyarakat luas. “Muhammadiyah memiliki banyak lembaga pendidikan yang bagus, dicontoh orang lain, merupakan aset strategis yang mampu menggerakkan persyarikatan secara bersama-sama,” kata Syafiq. (rka/nas)

Sumber: Universitas Muhammadiyah Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar