Sabtu, 13 Maret 2010

Modernitas Muhammadiyah Digugat


Muhammadiyah yang disebut-sebut sebagai organisasi Islam modernis digugat sendiri oleh kalangan Persyarikatan ini. Hal ini terjadi pada seminar “Muhammadiyah Update” di UMM, Sabtu (13/3). Seminar yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) UMM ini menampilkan tiga pembicara. Mereka adalah Ketua PP Muhammadiyah, Dr. Haedar Nashir; Koordinator Tarjih, Tajdid dan Tabligh PWM Jatim, Dr. Saad Ibrahim dan rektor UMM sekaligus Wakil Ketua PWM Jatim Dr. Muhadjir Effendy.

Kritik Haedar terhadap modernitas Muhammadiyah terletak pada posisi moderat Muhammadiyah yang tidak disertai dengan pengayaan spiritual sehingga sering menimbulkan bergersernya sebagian anggota lari ke kanan, ke arah Islamisme atau ke kiri, dekonstruksi. Idealnya, Muhammadiyah harus lebih memberi pengayaan ruhani Islam. “Orang Muhammadiyah terlalu khawatir terhadap sufisme, sehingga menjadi kering spiritualitas,” kata Haedar.

Muhammadiyah juga terjebak pada nalar instrumental. Hal ini mempengaruhi relasi-relasi sosial di tubuh Muhammadiyah. “Hubungan sosial komunalitas seperti silaturahim dikalahkan oleh komunikasi canggih, misalnya seperti handphone,” kritik Haedar lebih lanjut.

Sementara itu, Saad Ibrahim, mempertanyakan mengapa modernitas Muhammadiyah justru digugat. Dia menanyakan, apakah modernitas itu telah meruntuhkan ideologi agama, atau organisasi lambat bergerak akibat akselerasi modernitas, atau ada manipulasi dengan label modernitas itu sedangkan urat nadi gerak organisasi justru belum modern.

Atas dasar itu, Saad menawarkan integrasi antara ideologi agama dengan ideologi modernitas. “Satu tangan kita menjangkau dan memegang erat Al-Qur’an dan al-Hadits, tangan yang lain menjangkau dan menggenggam modernitas, sementara kaki kita tegak kokoh di tempat ini, sekarang, di tempat ini, bukan dahulu, bukan nanti,” tegas Saad yang juga dosen UIN Maulana Malik Ibrahim Malang itu.

Pandangan lebih ekstrim muncul dari Muhadjir. Muhammadiyah, katanya, tidak perlu terlalu membanggakan dengan label sebagai organisasi modern. Sebab, sebutan modern untuk Muhammadiyah hanya dikontradiksikan dengan label tradisionalis untuk organisasi lain. Konsep modernisasi yang sering dikembarkan dengan sekularisasi juga membahayakan Muhammadiyah dalam konteks ini. Jadi, jika ingin memahami Muhammadiyah sebagai organisasi modern harus dikembalikan kepada niat awal KH Ahmad Dahlan yang menyebut Muhammadiyah sebagai Islam berkemajuan.

Lebih lanjut, Muhadjir menyatakan, yang namanya berkemajuan, adalah berfikir maju, progres. Namun untuk itu bukan berarti mengabaikan masa lalu dan masa sesudah mati. Berbeda orang modern Barat yang hanya berfikir untuk masa dunianya, maka modernitas Muhammadiyah adalah berfikir masa lalu, masa kini dan masa nanti, masa setelah mati. “Itulah sebabnya orang Muhammadiyah beramal soleh sebesar-besarnya karena meyakini bahwa ada masa sesudah mati. Kita berfikir tentang masa lalu Rosul dan berharap di masa depan kita juga akan bertemu dengannya kelak,” kata Muhadjir.

Muhammadiyah Update merupakan agenda PSIF UMM untuk menyambut Muktamar Satu Abad Muhammadiyah di Jogjakarta Juli mendatang. Diskusi putaran selanjutnya akan berlangung tiap dua minggu hingga pertengahan Mei mendatang. Pembicara yang sudah konfirmasi antara lain Prof. Syafii Maarif, Dr. Moeslan Abdurahman, Said Tuhuleley, Prof. Syafiq A. Mughny, Prof. Syamsul Arifin dan Prof. M. Mas’ud Said.

“Kami akan bukukan semua hasil diskusi dan berharap hasil diskusi ini akan menjadi kado manis untuk Muktamar Juli mendatang,” kata Kepala PSIF, Drs. Ajang Budiman, M.Si. (nas)

Sumber: Universitas Muhammadiyah Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar