Oleh: Ahmad Fathoni M.Ag.
Alkisah, seorang nenak berusia sekitar 70 tahun mengalami patah tulang dan terpaksa menginap di rumah sakit. Ia ditemani seorang anaknya dan seorang cucu di ruang ber-setting VIP. Seorang dokter lalu menyapanya dan memberikan bimbingan sebagaimana mestinya hingga pada perkataan, "Alhamdulillah, ibu masih patah tulang." Si nenek terkaget-kaget mendengar ucapan sang dokter, "Kok Alhamdulillah sih?!" Sembari menghadapkan wajahnya ke anak perempuannya yang hendak menyuapinya.
Sikap nenek tersebut menggugah nurani kita, betapa banyak ujian mendera kita yang acapkali dianggap malapetaka terbesar. Nenek tadi mungkin lupa atau justrubisa jadi terfokus dengan penyakitnya saja, lantas ia mengesampingkan berbagai nikmat Tuhan yang telah mengalir selama hidupnya. Orang semacam ini ada kalanya membutuhkan bantuan orang lain untuk disadarkan bahwa Alhamdulillah ia masih memiliki anak yang setia menemaninya dan menyuapinya, Alhamdulillah hanya kaki kiri yang patah, bukan kaki kanan, apalagi kedua-duanya atau mungkin seluruh tubuhnya, dan Alhamdulillah fisiknya yang sakit bukan hatinya.
Ucapan "Alhamdulillah" rupanya dalam sangkaan si nenek, sang dokter sedang mensyukuri penyakitnya. Begitulah, banyak di antara kita salah kaprah memaknai hakikat syukur. Rasa syukur terkadang menghilang di kala seseorang sedang dilanda cobaan atau ditimpa musibah. Padahal, bersyukur di saat gundah gulanah bisa mengurangi beratnya penderitaan. Akan tetapi, perasaan syukur hanya berlabuh di hati orang yang benar-benar membutuhkan rasa syukur atau menunggu ada sebuah teguran terlebih dahulu, barulah ia bersyukur.
Sekedar permisalan. Seseorang yang memiliki uang tiga juta lebih tiga ratus ribu, lalu karena suatu hal ia kehilangan tiga ratus ribu dan masih tersisa tiga juta. Perhatian orang yang bersyukur akan tertuju pada jumlah yang tersisa, sehingga ia akan bersyukur, "Alhamdulillah, cuma tiga ratus ribu yang hilang, bukan yang tiga juta." Hatinya terhibur, lisan pun mengujarkan syukur.
Sebaliknya, orang yang kufur nikmat hanya terpaku pada uang tiga ratus ribu yang hilang, lalu melupakan tiga juta yang masih tersisa. Hatinya sangat menyesal, lisan pun mengumpat tidak karuan. Musibah terasa amat berat, sedikit pahala pun tidak didapat, bahkan hanya dosa yang tercatat. Karena itulah, ketika seseorang datang kepada tabi'in Yunus ibnu 'Ubaid rahimahullah mengeluhkan kondisinya tentang banyaknya kebutuhan dan sulitnya mencari pendapatan. Seakan tidak ada yang dirasakan di dunia ini selain kesengsaraan. Kepadanya Yunus mengatakan, "Bagaimana jika sebelah matamu saya ganti dengan seratus ribu dirham, relakah anda?"
Dia menjawab, "Tentu saja tidak." Tanya Yunus, "Bagaimana dengan sebelah tanganmu?" Jawabnya, "Tidak juga." Yunus melanjutkan pertanyaannya, "Bagaimana dengan sebelah kakimu?" Dia menjawab, "Aku tidak mau." Yunus lalu menanyakan satu per satu anggota badan orang itu dan dijawab dengan jawaban yang sama. Hingga Yunus berkata, "Saya lihat anda memiliki jutaan dirham, tetapi anda mengeluh dan merasa tidak mempunyai apa-apa?"
Kita dalam hidup ini sering menerima dua hal, yaitu anugerah dan musibah. Biasanya kita akan sangat mengharapkan selalu mendapatkan anugerah, lalu dengan mudah kita mensyukuri atas anugerah itu. Kita merasakan hidup ini indah manakala kita menerima anugerah, dan dengan mudah pula kita mengucapkan "Alhamdulillah" atas keindahan hidup tersebut.
Bagaimana tatkala kita menerima suatu musibah? Apakah kita masih bersyukur? Adalah sesuatu yang berat bila kita bersyukur saat kita menerima musibah. Umumnya kita lebih banyak mengeluh dan merasa tidak siap atas datangnya musibah. Mungkin kita sempat berfikir Tuhan tidak adil ketika kita menerima musibah. Tak jarang pula kita menyalahkan hidup, menyalahkan Tuhan, dan seterusnya.
Betapa banyak di antara kita yang sakitnya menjadi lebih parah, mengundang stres dan memancing kekecewaan mendalam gara-gara tidak bisa mensyukuri musibah yang ada. Padahal jika kita ikhlas menjalaninya dengan cara bersyukur, mungkin masalahnya akan terasa lebih mudah dan ringan. Namun, jika kita tidak bersyukur saat menerima musibah, masalahnya mungkin akan terus membengkak dan membuat hidup kita akan semakin terpuruk.
Saatnya kita melatih rasa bersyukur lebih banyak, agar kita tidak menjadi orang-orang yang kufur akan nikmat yang begitu banyak kita terima. Barangkali kita baru merasakan nikmatnya sesuatu tatkala kita kehilangannya. Dengan kekuatan syukur, memiliki dan kehilangan bukanlah masalah besar.
Bersyukur bagi kita sangatlah penting karena beberapa alasan, antara lain, dengan bersyukur membuat hati dan pikiran kita terbuka menerima karunia dalam kehidupan, selalu mengingatkan akan semua karunia saat mendapat anugerah, dan dengan bersyukur akan mampu menghadapi masalah secara proporsional. Sebab setiap masalah pasti ada jalan keluarnya, dan di balik masalah terdapat hikmah yang tersembunyi. Dengan bersyukur juga bisa menjadi alat kontrol diri kita agar tidak bersikap berlebihan saat menerima anugerah atau musibah. Rasa syukur merupakan kekuatan luar biasa yang bisa menghilangkan dan mengatasi masalah dalam setiap keadaan.
Kehidupan kita akan bahagia atau menderita, itu tergantung pada cara pandang dan pikiran kita. Melalui cara bersyukur kita akan menemukan apa yang kita cari. Apabila pikiran kita selalu mencari apa yang indah dari setiap musibah lalu mensyukurinya, maka keindahan yang akan kita dapati. Itu sebabnya, rasa syukur dibutuhkan untuk menerima dan memandang indah setiap peristiwa dalam perjalanan hidup kita. Syukur-syukur, dengan bersyukur kita dapat mengubah musibah menjadi anugerah.
Memang tidak gampang menghadirkan rasa syukur saat mendapatkan musibah. Untuk itu, ada baiknya kita merenungi petuah Syuraih al-Qadhi. Kata beliau, bagi kita yang mendapatkan suatu musibah hendaknya membandingkan dengan musibah orang lain yang lebih berat. Juga membandingkan antara sedikitnya sesuatu yang hilang dari kita (seperti kesehatan, harta, jabatan, dan sebagainya) dengan banyaknya nikmat yang masih Allah sisakan untuk kita.
Ketika ditanya rahasia sikapnya yang selalu bersyukur meski tertimpa musibah, al-Qadhi mengatakan, "Saat musibah menimpaku, aku bersyukur kepada Allah empat kali; aku bersyukur karena musibah yang lebih besar tidak menimpaku, aku bersyukur karena Allah masih memberiku kesabaran menghadapinya, aku bersyukur karena Allah memberiku petunjuk untuk mengucapkan istirja' (innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji'uun), dengannya aku mengharapkan pahala dan aku bersyukur karena musibah tidak menimpa agamaku.
Menegakkan dan Menjunjung Tinggi Agama Islam terwujud Masyarakat Islam yang Sebenar-benarnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar