Senin, 29 Maret 2010

IMM FISIP Syiarkan Muktamar Lewat Seminar



Tak hanya universitas, mahasiswa juga ikut mensyiarkan Muktamar Muhammadiyah ke-46 yang akan berlangsung di Jogjakarta, Juli mendatang. Menyambut even lima tahunan itu, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Komisariat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) menggelar seminar Refleksi satu abad Muhammadiyah di ruang teater UMM Dome, Sabtu (27/03). Kali ini tema yang diusung adalah Era Baru Gerakan Muhammadiyah Meneguhkan Progresifitas dan Pemikiran.

Acara yang dibuka keynote speech rektor, Dr. Muhadjir Effendy, MAP, itu menampilkan pembicara cendikiawan muda Muhammadiyah, Dr. Zuly Qodir, MA dan Sekretaris MUI Kota Malang, Drs. M. Nidhom Hidayatullah.

Muhadjir memaparkan, pemihakan sosial Muhammadiyah sangat jelas karena sejak awal digerakkan oleh KH Ahmad Dahlan dari spirit surat Al-Ma’un. Secara implementatif, keberpihakan itu dijalankan secara individual, kultural dan struktural. Namun demikian, untuk mengatasi masalah kemiskinan yang sudah teramat parah seperti sekarang, nampaknya tidak mungkin hanya mengandalkan kekuatan individual, sebab kemampuan individu sangat terbatas.

Dalam hal lain, rektor menyebutkan, pengkaderan sebagai masalah pelik yang dihadapi Muhammadiyah saat ini. Adanya organisasi pengkaderan atau ortom sebenarnya sangat penting bagi keberlangsungan persyarikatan. Tapi di lain pihak, hal itu dapat menyebabkan penyempitan atau cluster–cluster dalam organisasi itu sendiri. “State of mind dari orang–orang Muhammadiyah harus mampu menjadikan Muhammadiyah sebagai gerakan, sebagai movement”. Sehingga, dapat kita lihat bahwa kader–kader Muhammadiyah cenderung elistis, contohnya yaitu lebih baik tangan di atas dari pada tangan di bawah”, tegasnya.

Sementara itu, Nidhom mengungkapkan, sebagai seorang Muhammadiyah harus berada di luar politik tapi tetap harus berpolitik, agar tidak mudah dibodohi orang. “Dan, yang tidak kalah penting Muhammadiyah harus mampu mempertahankan kelenturan di kelompok tengah. Tidak harus menjadi oposan tapi dapat member kritikan pada pemerintah,” ujarnya.

Selanjutnya, seorang kader persyarikatan harus memiliki pengetahuan yang luas. “Yang paling penting, kehadiran Muhammadiyah harus berani memberi jawaban atas permasalahan masyarakat”, ungkap Nidlom yang juga Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim tersebut. Layanan seperti PKU yang sudah ada harus lebih ditingkatkan sebagai alat dakwah. Hal tersebut menjadi ujung tombak dakwah keberhasilan dakwah kader Muhammadiyah.

Sependapat dengan Nidhom, Zuly Qodir juga memaparkan pentingnya peningkatan pelayanan PKU. “PKU, sebagai pusat pelayanan umum hendaknya tidak malah menjadi penyebab kesengsaraan umat. Saat ini, banyak orang yang enggan berobat ke PKU Muhammadiyah karena image mahal untuk datang kesitu”, ungkap salah satu pengurus Majelis Tarjih tersebut.

Pencitraan yang terjadi saat ini, kata Zuly, Muhammadiyah sebagai pencetak ahli lisan saja. Para kaum intelektual lebih suka terjun pada ranah politik partai, dibandingkan untuk menuliskan pengetahuannya. Sehingga hal tersebut, sulit untuk diakses orang lain.

“Sudah seharusnya Muhammadiyah mengambil peranan sebagai pressure group, kelompok penekan yang berani mengkritik pemerintah, juga sebagai wasit dalam sebuah permasalahan”, ungkap pria Jogjakarta itu. Sehingga Muhammadiyah harus menempatkan diri sebagai gerakan social yang membuka peluang untuk semua orang untuk menjadi kadernya. (rwp)

Sumber: UMM News

Tidak ada komentar:

Posting Komentar