Kamis, 01 April 2010

Menyambut Munas Tarjih Ke-27 di Malang: Hukum Islam dalam Dialektika Zaman

Oleh: Pradana Boy ZTF

MULAI hari ini hingga 4 April mendatang, Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah akan menyelenggarakan musyawarah nasional (munas) ke-27 di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Munas tersebut merupakan bagian dari rangkaian panjang menuju muktamar Muhammadiyah pada Juli mendatang di Jogjakarta.

Tidak seperti musyawarah pada umumnya, munas tarjih merupakan sebuah forum yang amat vital bagi Muhammadiyah. Mengingat, musyawarah itu merupakan media di mana Muhammadiyah akan menentukan sikap atas sejumlah persoalan yang dihadapi masyarakat modern dan kontemporer.

Majelis Tarjih adalah sebuah lembaga dalam Muhammadiyah yang bertugas dan bertanggung jawab terhadap pemecahan masalah-masalah baru dalam hukum Islam. Lembaga itu mirip Bathsul Masail di Nahdlatul Ulama atau Dewan Hisbah di Persis.

Karena itu, bisa dibayangkan betapa pentingnya posisi majelis tersebut dalam konteks Muhammadiyah. Dalam berbagai literatur, disebutkan bahwa Majelis Tarjih sering menghasilkan produk-produk hukum maupun produk pemikiran dalam dua kategori: yang pertama bersifat mengikat, yang kedua bersifat wacana atau sebagai pengetahuan.

Konteks yang pertama biasanya berlaku untuk urusan-urusan ibadah yang tentu saja harus dilaksanakan sebagaimana hukum yang mengaturnya. Sementara itu, persoalan-persoalan ghairu ubudiyah seperti persoalan-persoalan sosial dan kemasyarakatan tidak memiliki daya ikat sekuat produk hukum yang pertama.

Meski demikian, tidak ada salahnya jika belakangan ini Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih harus lebih banyak terlibat dalam reformulasi atau penafsiran persoalan-persoalan baru dalam Islam menggunakan kerangka hukum Islam sebagai patokan.

Sebagai seperangkat pedoman bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan di dunia, hukum Islam memiliki sifat dasar yang fleksibel. Fleksibilitas hukum Islam itu mewujud diri dalam kebolehan menciptakan hukum terhadap masalah-masalah yang tidak atau belum pernah muncul pada masa Nabi. Mekanisme menemukan hukum-hukum baru itulah yang belakangan diformulasikan ulama atau fuqaha sebagai ijtihad.

Tentang pentingnya ijtihad ini, A.A. Qadri menegaskan: ''...meskipun Tuhan telah memberikan wahyu kepada kita, Dia juga memberikan akal kepada kita untuk memahami wahyu itu; dan wahyu Allah itu tidak bisa dipahami tanpa kajian yang seksama dan panjang.''

Salah satu adagium yang paling terkenal dalam hukum Islam adalah al-Islamu shalihun li kulli zaman wa makan (Islam senantiasa sesuai dengan perkembangan zaman). Itu merupakan salah satu bukti yang sering ditampilkan untuk menjelaskan tentang fleksibilitas hukum Islam.

Fleksibilitas hukum Islam bisa dimaknai dalam dua konteks: 1) bahwa hukum Islam senantiasa relevan pada setiap zaman dan setiap tempat; dan 2) bahwa dalam satu perbuatan, Islam bisa menentukan tiga atau empat hukum sekaligus sebagaimana disinggung terdahulu.

Sementara tidak ada perselisihan di antara umat Islam dalam menerima fleksibilitas hukum Islam ini; terdapat perbedaan dan tidak jarang perbedaan itu sangat tajam berkaitan dengan bagaimana fleksibilitas tersebut mesti diwujudkan. Pertentangan itu, misalnya, berkaitan dengan hubungan antara teks dan konteks. Tegasnya, jika terjadi pertentangan antara teks dan konteks, manakah yang harus dimenangkan?

Kelompok muslim skripturalis -atau sering diistilahkan dengan puritan, fundamentalis, dan radikal- akan cenderung menempatkan teks sebagai pemenang. Sebab, bagi kelompok muslim seperti itu, keislaman yang benar adalah keislaman seperti yang termaktub dalam Alquran dan sunah. Itu bermakna bahwa penuturan-penuturan tekstual Alquran dan sunah harus dipatuhi.

Konteks, dengan sendirinya, harus menyesuaikan dengan teks. Sebab, bagi kelompok tersebut, jika teks harus disesuaikan dengan konteks, itu bermakna Quran dan sunah adalah dasar hukum yang tidak konsisten. Sementara itu, kelompok kontekstualis melihat konteks sebagai faktor determinan dalam menentukan hukum. Mereka berargumen bahwa Alquran dan sunah tidak turun di ruang kosong.

Keduanya turun di tengah masyarakat atau komunitas yang telah memiliki sistem nilai, sistem budaya, dan sistem sosial yang mapan. Dengan demikian, turunnya sebuah ayat atau hadis, misalnya, selalu memperhatikan unsur-unsur ini. Maka, istilah asbab al-nuzul (sebab-sebab turunnya Alquran) dan asbab al-wurud (sebab-sebab lahirnya hadis) menunjukkan tidak pernah terpisahnya sebuah teks dari konteks di sekitarnya.

Dalam sejarah pemikiran hukum Islam, kelenturan hukum Islam ini bisa dibuktikan dengan mengambil perubahan fatwa-fatwa Imam Syafi'i sebagai contoh. Ketika berada di Iraq, Imam Syafi'i pernah memproduksi fatwa-fatwa atau ketetapan hukum yang disesuaikan dengan konteks masyarakat di sekelilingnya. Tapi, ketika Syafi'i pindah ke Mesir dan menemukan persoalan-persoalan yang timbul di kalangan masyarakat Mesir berbeda dari yang didapati di Iraq, dia harus melakukan penyesuaian hukum.

Konsekuensinya, fatwa-fatwa yang dihasilkan Imam Syafi'i di Iraq berbeda dari yang dia hasilkan di Mesir. Karena itu, fatwa-fatwa di Iraq dinyatakan tidak lagi berlaku di Mesir dan dinamakan sebagai qawl qadim (fatwa-fatwa lama), sementara fatwa-fatwa barunya di Mesir dinamakan qawl jadid. Sebagian ulama menghubungkan perubahan pendapat yang dilakukan Imam Syafi'i ini dengan pergaulan yang dia alami.

Di Iraq, yang beraliran hukum ahl al-ra'y memberikan pengaruh tidak sedikit kepada Imam Syafi'i dalam memberikan fatwa-fatwa. Sementara itu, situasi tersebut berbeda dari Mesir, di mana sebagian besar ulama yang hidup di sini adalah penganut ahl al-hadits.

Atas dasar itu, Majelis Tarjih sebenarnya memiliki posisi yang sangat strategis dalam konteks reposisi hukum Islam dalam dialektika zaman, tanpa harus kehilangan identitas keislaman yang kukuh dan tegas. Sehingga, dalam kerangka itu, sudah sewajarnya Majelis Tarjih mulai merespons persoalan-persoalan hukum Islam baru yang pada saat bersamaan juga memiliki keterkaitan dengan nasib masyarakat secara umum, seperti persoalan TKI, TKW, HIV/AIDS, kemiskinan, dan sejenisnya.

Jika itu bisa dilakukan dengan baik, Majelis Tarjih benar-benar menjadi agen yang menjadikan adagium al-Islamu shalihuh likulli zaman wa makan (Islam senantiasa sejalan dengan zaman dan sekaligus membawa manfaat pada masyarakat) benar-benar akan terwujud. Selamat bermusyawarah!

*) Pradana Boy ZTF , Ketua Jurusan Syariah Universitas Muhammadiyah Malang

Sumber: Jawa Pos Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar