Selasa, 15 Juni 2010

Proses Lahirnya Muhammadiyah di Daerah Malang (I)

Berdirinya persyarikatan Muhammadiyah pada tahun 1912, tidak dapat dilepaskan dari dua sebab yang pokok, yaitu : Pertama pengaruh pembaharuan pemikiran Islam yang dipelopori Syech Muh. Abduh dan pengikut-pengikutnya yang melancarkan usahanya memodernisasi ajaran Islam di Mesir. Kedua, kondisi umat Islam Indonesia yang sangat memprihatinkan sebagai mana dalam bab I di muka.

Muhammad Abduh dengan pengikut-pengikutnya yang kemudian terkenal dangan golongan Salafiyah mempunyai pengaruh yang tidak kecil artinya dalam alam fikiran dan kehidupan agama Islam di Indonesia. [2] Sebabnya ialah pelajar-pelajar dan mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang belajar di tanah suci dan Mesir sudah tentu terpengaruh pula olehg gerakan pembaharuan Islam Muhammad Abduh dan pengikut-pengikutnya. Setelah mereka kembali ke tanah air mereka berusaha mengadakan gerakan pembaharuan Islam, sehingga bermunculan organisasi Islam, seperti : Syarekat Dagang Islam (1909), Syarekat Islam (1911), Muhammadiyah (1912), Nahdlatul Ulama (1926) semua ini di Jawa, dan Tawalib (1918) di Sumatra. [3]

Salah seorang dari pelajar-pelajar Indonesia yang pada masa itu bertekun belajar di Mesir dan Saudi Arabia (L.K. 17 tahun), ialah pemuda Nur Yasin asal Malang ; yang ternya nantinya menjadi salah satu pelopor berdirinya Muhammadiyah daerah Malang.
Pada awal berdirinya Muhammadiyah mengkhususkan usahanya terbatas di wilayan residensi Yogyakarta saja. Hal ini terbukti dari bunyi tujuan Muhammadiyah pada saat berdiri, yaitu berbunyi : [4]
Maka Perhimpunan itu maksudnya :

Menyebarkan pengajaran agama Kanjeng Nabi Muhammad saw. kepada penduduk bumi putra di dalam residensi Yogyakarta
Memajukan hal Agama kepada anggota-anggotanya [5]

Setelah 2 tahun berjalan, ternyata perhatian masyarakat Islam tidak terbatas pada residensi Yogyakarta, tetapi di luar Yogyakarta banyak yang ingin ikut mendirikan Muhammadiyah. Oleh karena itu, diadakan usul perubahan tujuan persyarikatam Muhammadiyah khususnya tentang perubahan wilayah jangkauan kegiatan Muhammadiyah. Yang akhirnya meliputi seluruh Indonesia. Usul ini diajukan ke Gubernur Jendral Hindia Belanda di Batavia, pada tahun 1914. Setelah beberapa kali mengalami perubahan, akhirnya dengan bersluit Gubernur Jendral Hindia Belanda No.36, tertanggal 2 September 1921 maka tujuan Muhammadiyah menjadi sebagai berikut :
  1. Memajukan dan memberikan pengajaran dan pelajaran agama Islam di Hindia Belanda.
  2. Memajukan dan memberikan cara kehidupan sepanjang kemauan agama Islam kepada anggota-anggotanya.[6]
Demikianlah setelah ada ijin perubahan wilayah gerak Muhammadiyah yang meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda, maka bermunculan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia, seperti di Garut, Solo, Surabaya, Pekalongan, Jakarta, Blitar, Padang Panjang, Banjar Masin, Makassar, dan sebagainya.

Pada tahun antara 1920 – 1922, KH. Ahmad Dahlan telah berhasil menanamkan benih-benih Muhammadiyah di Jawa timur, lebih-lebih setelah “2 benteng penghalang” Muhammadiyah di Banyuwangi dan di Surabaya bobol dan takluk kepada KH. Ahmad Dahlan. [7]

Seperti kita ketahui, bahwa sudah menjadi kebiasaan KH. Ahmad Dahlan bertabligh sambil berdagang batik. Demikian pula pada waktu keliling di Jawa Timur ternyata di kota-kota yang didatangi mendapat sambutan yang baik, sebab sebagian besar pedagang batik juga berasal dari Yogyakarta, Misalnya di Ponorogo, Blitar, Sumberpucung, Kepanjen, Pasuruan, Jember dan Banyuwangi. Para pedagang batik yang berasal dari Yogyakarta banyak yang tertarik pada figur KH. Ahmad Dahlan dalam berdagang, yang akhirnya tertarik juga pada tabligh-tabligh yang diadakannya. Mereka-mereka inilah yang kemudian merintis berdirinya Muhammadiyah di tempat-tempat tersebut. Misalnya, Ranting Sumberpucung didirikan oleh keluarga Mataram (sebutan untuk orang Yogyakarta yang bertempat tinggal di Sumberpucung). Juga di Kepanjen, Ponorogo, Blitar dan sebagainya. Sedang di tempat-tempat lain, mereka bergerak untuk mendirikan Muhammadiyah karena tertarik oleh cita-cita Muhammadiyah, yang dikenal sebagai gerakan pembaharuan Islam, yang lebih menggunakan pola fikir atau pendekatan rasional dalam memecahkan masalah keagamaan sepanjang dibenarkan oleh ajaran Islam. Nampaknya justru pola fikir yang seperti itu yang banyak mengundang tantangan dan hambatan dari pihak-pihak yang tidak senang dan bahkan sampai hati menuduh Muhammadiyah sebagai agama baru, agama kafir dan sebagainya. Tantangan yang seperti itulah yang ditemui KH. Ahmad Dahlan sewaktu beliau bertabligh di Banyuwangi.

Pada waktu beliau mangunjungi rapat umum di Bayuwangi, diadakan tanya jawab, dan segala pertanyaan yang tidak ada hubungannya dengan Muhammadiyah tidak beliau layani. Maka orang-orangpun berteriak-teriak, ujarnya : “Dahlan Kalah !, Kyai Palsu !”, dan sebagainya. Sesudah beliau pulang, dikirimlah surat kaleng kapada beliau yang berisi ancaman : “kalau berani datang sekali lagi, akan disambut dengan kelewang (sejenis pedang) dan istrinya supaya diajak untuk dijadikan pelayan”. Maka seketika itu juga, beliaupun berangkat ke Banyuwangi, walaupun keluarganya mancegahnya. Tetapi setelah datang di sana dan mengadakan rapat lagi, tidak terjadi apa-apa, bahkan, akhirnya berdirilah Cabang Muhammadiyah Banyuwangi. [8] Inilah yang disebut oleh Almarhum KH. Tedjo Darmoleksono, sebagai bobolnya benteng Banyuwangi. Konon diketahui yang menentang KH. Ahmad Dahlan tersebut adalah tokoh agama Islam yang fanatik, bernama Taslim. Dan akhirnya justru Taslim inlah yang mempelopori berdirinya Muhammadiyah Cabang Banyuwangi, dan menjadi pejuang Muhammadiyah di Banyuwangi.

Pada ketika yang lain, sewaktu K.H.A. Dahlan bertabligh di Surabaya, tepatnya di kampung Mas Udik. Setelah beliau mengadakan tabligh, beliau menginap di penginapan yang kurang patut, di mana di penginapan itu banyak terdapat wanita tuna susilanya. Sehubingan dengan itu, datanglah seorang pemuda, yaitu Mas Mansyur (yang kemudian lebih dikenal sebagai K.H. Mas Mansyur). Mas Mansyur baru pulang dari Saudi Arabia, dan sudah membawa paham tentang pembaharuan Islam. Ia merasa kurang enak dengan penginapan K.H.A. Dahlan tersebut. Kemudian dia mengundang dan mengajak K.H.A. Dahlan bermalam di rumahnya.

Pada Malam itu, ternyata K.H. A. Dahlan terlibat diskusi semalam suntuk dengan pemuda Mas Mansyur tersebut. Diskusi tersebut mengarah pada persoalan pembaharuan Islam di Indonesia. Ternyata, Mas Mansyur kalah berargumentasi dengan K.H. A. Ahmad Dahlan. Beberapa hari kemudian, Mas Mansyur datang ke Yogyakarta, sekedar mengintai apa yang dikerjakan oleh K.H. A. Dahlan di rumahnya di Kauman. Selama beberapa hari dia mengikuti pengajian yang dilakukan K.H. A. Dahlan. Dia melihat bagaimana setelah Sholat Subuh, K.H. A. Dahlan sudah berjalan-jalan sambil mambaca Al Qur`an di muka rumahnya , di bawah pohon sawo. Setelah lebih kurang 1 minggu lamanya mengintai gerak-gerik K.H. A. Dahlan, maka yakinlah pada diri K.H. A. Dahlan. Maka yakinlah pada diri Mas Mansyur, bahwa K.H. A. Dahlan patut diteladani . kemudian Mas Masyur pulang ke Surabaya dan mendirikan Muhammadiyah di sana. Kejadian ini oleh K.H. M. Bedjo Dermoleksono disebutnya sebagai bobolnya benteng Surabaya. Sehubungan dengan masuknya Kyai Mas Mansur ke Muhammadiyah (pada tahun 1921), Kyai Dahlan sendiri menyatakan bahwa “sapu kawate Jawa Timur wis ono tanganku”.

Sebenarnya, Mas Mansur sudah tertarik kepada Kyai Dahlan sejak tahun 1915; sewaktu akan kembali ke Indonesia dari Makkah, dia sudah merencanakan tempat-tempat (di pulau Jawa ) yang akan disinggahinya sebelum tiba di Surabaya. Salah astu tempat yang akan disinggahinya adalah Yogyakarta, yaitu tempat tinggal Kyai Dahlan. Mas Mansur mengisahkan sebagai berikut:

“Waktu itulah saya datang kepada beliau dan memperkenalkan diri. Abru saja berkenalan hati tertarik, baru saja keluar kata lemah lembut dari hati yang ikhlas, hati pun tunduk. Waktu itu terasa pada saya bahwa ada pula kiranya saya berayah di Yogyakarta.

Ketika itu beliau terangkan bahwa beliau sangat kenal dan bersahabat dengan ayah saya. Katanya kalau beliau ke Surabaya beliau tinggal dirumah Kyai Habib, tempat pertemuan kyai-kyai. Di sanalah beliau kerap kali bercakap-cakap lama dengan ayah saya memperbicangkan soal-soal agama. Dan apabila ayah saya datang ke Yogya, beliau tinggal dirumah Kyai Nur tempat pertemuan inyik-inyik itu pula.

.... segal gerak-gerik beliau menyatakan keikhlasan dan kesucian hati. Kata-kata dan perjalanan beliau menyatakan ketundukan dan ketaatan kepada Yang Maha Kuasa. Ah mudah mudahan arwah beliau tidak terhalang-halang dan tidak mendapat rintangan.

Demikianlah pada permulaan tahun 1916 saya kembali pula ke Yogya. Di situlah beliau terangkan bahwa alat untuk memperbaiki umat Islam itu hanyalah Quran dan Hadits. Dikembalikan orang pada Tauhid. Dibawa umat pada kehidupan sepanjang kemauan agama Islam. Hal itu bukanlah berarti bahwa ilmu pengetahuan dipencilkan dan ditinggalkan dibelakang saja. Dan salah sekali paham orang jika agama Islam hanya sembahyang atau ibadat semata-mata. Kita hidup di dunia. Dari itu kita harus pula tahu akan apa-apa yang terajdi disekeliling kita hidup. [9]

Tabligh-tabligh K.H. Ahmad Dahlan di Surabaya ternyata seringkali diadakan, dan tempatnya berpindah-pindah. Hal ini menunjukkan bahwa makin banyak orang yang tertarik dengan gerakan pembaharuan yang dilancarkan K.H.A. Dahlan. Bahkan di kalangan orang pergerakan mulai melihat kaitan erat antara pembaharuan dan pembangunan agama dengan pembangunan tanah air, bangsa, negara dan masyarakat. [10]

Bersambung ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar