Kamis, 18 Maret 2010

Pro Kontra Fatwa Merokok, Pengusaha Rokok Muhammadiyah Ketar-ketir

Fatwa haram merokok yang dikeluarkan Majelis Tarjih dan Tajdid Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, langsung mendapat reaksi dari warga Muhammadiyah sendiri. Terutama warga Muhammadiyah yang bergelut dalam bisnis rokok.

Bagi Ali Ja`far, rokok sudah menjadi bagian penting kehidupannya. Sebab, pengurus Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Malang ini dikenal juga sebagai pengusaha rokok. Jumlah pekerja pabrik rokoknya kini sekitar 400-an orang, dan usaha tersebut juga bukanlah `bisnis kemarin sore` karena keberadaannya sudah dirintis oleh keluarganya sejak tahun 1960-an.

Oleh karena itu, ketika mengetahui munculnya fatwa haram merokok yang dikeluarkan pada 8 Maret 2010 lalu, Ja`far seakan tertohok. Fatwa itu langsung bersinggungan dengan bisnis yang selama ini ditekuni dan memberinya penghasilan.

Secara kelembagaan, kata Ja`far, organisasi Muhammadiyah PDM Kota Malang belum menyatakan sikapnya terkait fatwa merokok itu. “Soal itu masih sedang dibicarakan bersama-sama oleh pengurus,” kata dia.

Namun, secara pribadi, Ja`far sudah menyatakan sikapnya: tidak sependapat dengan fatwa itu. Ia menyatakan bahwa hukum merokok adalah makruh, yakni jika tidak dilakukan mendapatkan pahala, namun jika dikerjakan tidak berdosa.

Secara umum, alasan yang dikemukakan Ja`far untuk tidak sependapat dengan fatwa haram itu hampir sama dengan alasan para pengusaha rokok lainnya. Yakni bahwa usaha rokok menyangkut jutaan manusia di Indonesia, sejak di bagian hulu (pertanian tembakau), bagian tengah (produksi rokok dan pendukungnya) hingga bagian hilir (perdagangan rokok).

Karena itu, menurut Ja`far, jika rokok diharamkan, itu berarti banyak orang yang terancam mata pencahariannya. Bahkan, pemerintah pun terancam tidak mendapatkan pajak (berupa cukai) dari pabrik-pabrik rokok –yang nilai triliunan rupiah setiap tahun.

“Lagipula, banyak anggota masyarakat yang menerima bantuan dari hasil usaha rokok,” kata Ja`far, yang pabriknya menghasilkan lebih 100 bal rokok setiap hari. Rokok-rokok produksi Ja`far beredar Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera dengan merek Sawo Manilo dan Adi Bungsu.

Bagi Ja`far, sepanjang pemerintah tidak melarang merokok dan usaha rokok, bisnis itu akan terus digelutinya. Dan, rasanya memang sangat kecil kemungkinan pemerintah melarang merokok, apalagi bisnis rokok. Fatwa haram rokok, dinilainya tidak bijaksana.

Sementara itu, H Pujianto, warga Muhammadiyah yang juga pedagang rokok, merasa kaget dengan keluarnya fatwa haram rokok. Sebagaimana Ja`far, Pujianto yang juga anggota Fraksi PAN DPRD Kota Malang berkeyakinan bahwa hukum merokok itu makruh. Karena itu, dia tetap akan jalan terus memperdagangkan rokok.

”Keyakinan saya sama dengan Pak Amien Rais yaitu merokok hukumnya makruh,” kata Pujianto, Selasa (16/3).

Pada kesempatan terpisah di Surabaya kemarin, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin mengatakan fatwa haram merokok yang dibahas Majelis Tarjih dan Tajdid itu masih merupakan pandangan hukum, dan belum menjadi keputusan majelis tersebut secara nasional.

Rencananya, kata dia, Pimpinan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah akan membahas masalah itu dalam musyawarah nasional majelis tersebut di Malang pada April mendatang.

“Dalam konteks Muhammadiyah, posisi fatwa berada pada satu tahap di bawah keputusan. Putusan sendiri harus dibahas dalam musyawarah nasional yang dihadiri Majelis Tarjih dan Tajdid dari seluruh Indonesia. Saat ada keputusan Muhammadiyah, maka larangan merokok akan bersifat mengikat bagi seluruh anggota Muhammadiyah,” jelasnya.

Tetapi, diakui Din, Muhammadiyah secara umum memang ikut dalam gerakan PBB dalam penanggulangan penyakit pandemi di dunia di antaranya flu burung, flu babi, TBC, dan penyakit pernafasan lainnya.

Dalam gerakan secara internasional tersebut, menurut dia, tentu ada dana dari dalam negeri dan asing.

“Tetapi, dana itu tidak ada kaitan dengan fatwa haram tersebut. Itu hanya kebetulan sifatnya saling melengkapi,” katanya, sembari meluruskan `kabar miring` bahwa organisasi ini menerima dana miliaran rupiah dari LSM asing terkait fatwa haram merokok.

“Fatwa hukum dan gerakan penyuluhan antirokok adalah dua hal yang berbeda,” tandas Din setelah menjadi pembicara utama dalam seminar di Gedung PW Muhammadiyah Jatim di Surabaya, Selasa (16/3).

Dalam sebuah dialog yang diadakan dalam rangka milad se-abad Muhammadiyah yang diadakan di Universitas Muhammadiyah Malang, Sabtu (13/3) lalu, seorang peserta, yakni Nugroho Hadi Kusumo, menyesalkan adanya fatwa haram rokok.

Pria yang juga Pimpinan Ranting Muhammadiyah Penanggungan ini mengatakan, ada yang lebih esensial dibanding mengharamkan rokok. “Saya tidak merokok, tapi saya berpendapat fatwa ini kurang bijak. Masih ada yang lebih berbahaya di negeri ini dibanding rokok, seperti korupsi misalnya,” ujar Nugroho.

Terhadap lontaran Nugroho, Dr Saad Ibrahim yang jadi narasumber dialog, menanggapinya dengan ringan.

“Jangan dipersulit. Yang yakin kalau merokok haram, sebaiknya jangan merokok. Yang yakin tidak haram, silakan diteruskan rokoknya. Nanti tinggal dibuktikan di akhirat,” ujar Saad, tokoh Muhammadiyah yang juga mengajar di UIN Maliki Malang.nekn/ab/iks/uni

Sumber:
Surya Online
www dot surya dot co dot id /2010/03/17/pro-kontra-fatwa-merokok-pengusaha-rokok-muhammadiyah-ketar-ketir.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar