Rabu, 28 April 2010

Buya Syafii Dorong Kebebasan Berpikir


Diskusi berkala “Muhammadiyah Update” yang diselenggarakan Pusta Studi Islam dan Filsafat (PSIF) UMM, Sabtu (24/04), menghadirkan mantan ketua PP Muhammadiyah, Prof. Dr. A. Syafii Maarif, MA dan guru besar FISIP UMM, Prof. Dr. M. Mas’ud Said, MM. Kali ini tema yang dibahas adalah Muhammadiyah dan Masa Depan Intelektualisme Islam di Indonesia. Diskusi yang diikuti sekitar 90 peserta aktif itu hangat karena terdapat perbedaan tajam di antara peserta tentang terminologi pluralisme.

Syafii Maarif yang akrab disapa Buya, secara tegas mengkritik tentang adanya orang Muhamadiyah yang anti berpikir bebas, yang menurutnya disebabkan karena kurangnya budaya membaca. Kenyataan Islam yang ada saat ini dibenturkan oleh dua hal yaitu, ulama dan penguasa yang masih berpikir monolitis. “Orang yang demikian itu selalu berpikir bahwa hanya dirinyalah yang berhak masuk syurga. Takut berpikir merdeka dengan bingkai keimanan sebagai alasan. Cara berpikir hitam putih seperti itu, yang membuat Muhammadiyah bergerak pelan dan bersiap masuk museum sejarah,” kata Buya menyayangkan.

Buya menampik keras anggapan yang mengatakan bahwa Muhammadiyah kurang Islam karena tidak memiliki azas selama 57 tahun pada saat pertama berdiri. “Saya rasa Muhammadiyah sudah menghadapi pergumulan pemikiran yang luar biasa untuk memutuskan itu. Kalau Muhammadiyah takut berpikir bebas berarti tidak setia pada dokumen AD/ART yang kita punya,” terangnya lebih lanjut.

Buya pun tidak sepakat, ketika dinyatakan bahwa sikap pluralisme adalah keluar dari Islam. Hendaknya perbedaan pendapat dapat didiskusikan lewat kultur dialogis yang sehat. Dalam hal ini, Buya mencoba menunjukan pluralisme lewat pendapatnya yang sengaja dikutip dari pendapatnya Murad W. Hofmann “Intellectualism means pluralism. Lack of pluralism means decadence”. Itu berarti pluralisme menjadi syarat untuk perkembangan Islam, kalau tidak ada itu siap–siap saja hancur dan masuk kubur,” ungkap Buya prihatin.

“Melihat hal ini, saya jadi ingin mengusulkan nama Majelis Tarjih dan Tajdid diubah menjadi Majelis Tarjih dan Kebebasan Pemikiran,” canda Buya. Hal tersebut dicetuskan karena Buya melihat banyak dari kader Muhammadiyah yang bersikap elistis dan tidak terbuka pada sesuatu yang baru.

Sudah seharusnya para PTM bertugas untuk mengembangkan potensi intelektualisme kalau tidak ingin Muhammadiyah menjadi penonton di arena perlagaan. Selanjutnya, Buya menawarkan solusi untuk para Pimpinan Muhammadiyah di setiap wilayah untuk membuka diri dari kalangan intektual Muhammadiyah yang berbeda pandangan. Serta, mengantisipasi perkembangan pergulatan pemikiran yang akan berbanding lurus dengan banyaknya kontroversi.

Mas’ud Said menambahkan, jika Islam diibaratkan sebuah bangunan maka harus ada yang berani naik ke atas atap untuk melihat Islam dari kacamata yang bebeda di luar Islam. Sedangkan Muhammadiyah sendiri harus berani melakukan pembenahan tentang konsep ibadah. “Selama ini, image yang terbangun seolah-olah Islam hanya ada di sekitar masjid atau mushola saja”, ungkap Mas’ud. Sudah saatnya Muhammadiyah menyatukan amal dalam bentuk keberagaman dalam usahanya untuk menegakan keadilan dan demokrasi.

Diakui Mas’ud reputasi para pemikir Islam masih jauh di bawah para pemikir Islam dari Timur Tengah. Sebagai gerakan Tajdid Islam, sesungguhnya Muhammadiyah diharapkan sebagai penyumbang terbesar dan rumah bagi pemikiran–pemikiran baru yang segar. Sehingga nantinya, konsep yang ditawarkan Muhammadiyah bisa dibuktikan dengan lebih nyata dan diterima oleh masyarakat luas. (rwp/nas)

Sumber:
Universitas Muhammadiyah Malang
www dot umm dot ac dot id /news.php?c=1301&archive=&more=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar