Sabtu, 01 Mei 2010

Ibadah Sosial Menentukan Kualitas Iman Sosial

Oleh: Drs. H. Nurdin Hasan, M.Ag.

مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ
قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ
وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ

"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?"
Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat,
an kami tidak (pula) memberi makan orang miskin,
[QS. al-Mudatstsir (74): 42-44]


أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ
فَذٰلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ
وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ الْمِسْكِينِ
فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ
الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ
الَّذِينَ هُمْ يُرَاؤُونَ
وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?
Itulah orang yang menghardik anak yatim,
dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,
(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,
orang-orang yang berbuat riya,
dan enggan (menolong dengan) barang berguna.
[QS. al-Maa'uun (107): 1-7]

Dari ayat tersebut di atas dapat dipahami bahwa salah satu faktor yang menyebabkan orang dicap sebagai pendusta agama, dan masuk dalam neraka saqar adalah mereka tidak mau peduli terhadap usaha membantu anak yatim dan usaha pengentasan kemiskinan yang melanda masyarakat.

Salah satu tantangan ummat Islam saat ini adalah lemahnya ekonomi umat (Dla'fu al-iqtishadi). Kita sering mendengar dan membaca bahwa pada saat ini masih ada sekitar 27 juta penduduk Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Dari jumlah itu mereka kebanyakan adalah ummat Islam.

Mengapa umat Islam itu masih banyak fakir dan miskin, untuk menjawab itu kita lihat dari dua sisi, sisi pertama kita kembalikan pada fakir miskin itu sendiri mengapa mereka masih hidup dalam kefakiran dan kemiskinan. Jawabnya adalah:

Pertama Golongan fakir miskin tidak giat bekerja atau lemah etos kerjanya, memang jawaban ini ada benarnya karena penelitian yang dilakukan World Bank yang pernah diungkapkan Dr. Amin Rais bahwa dari 45 bangsa di dunia, ternyata bangsa Indonesia tidak termasuk yang paling rajin. Dan dari yang paling malas, ternyata kita termasuk menduduki ranking ke-45.

Kedua, mereka cepat menyerah kepada apa yang menjadi ketentuan Allah, nasib dan untung manusia itu telah ditentukan Allah sejak zaman azali, mereka serba fatalis yaitu pasrah bongkokan tanpa ada upaya-upaya untuk merubah nasib, padahal al-Qur'an telah memberikan informasi kepada kita bahwa Allah itu tidak akan merubah nasib suatu kaum apabila kaum itu tidak merubah nasibnya . Diperlukan adanya upaya atau ikhtiar dengan sungguh- sungguh baru bertawakkal kepada Allah.Firman Allah:

لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِّن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِ مِن وَالٍ

Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
[QS. ar-Ra'du (13): 11]

Jadi jika kita ingin pandai tentu harus ada usaha belajar, jika ingin kaya tentu ada hukum alam yaitu membanting tulang untuk bekerja keras. Jika ingin sehat tentu perlu dijaga kesehatan, makan teratur tidur teratur dll. Jadi kita disuruh mengikuti hukum Islam yang telah ditentukan Allah.

Di sisi lain, jawaban terhadap sebab-sebab timbulnya kefakiran dan kemiskinan yang melanda umat ini harus dikembalikan kepada si kaya sendiri, yaitu karena enggan dan kurang pedulinya mereka untuk mengeluarkan zakat, infaq dap shodaqah dan mereka kepada kaum fakir dan miskin untuk membantu meringankan beban mereka, serta untuk meningkatkan taraf ekonomi mereka.

Mengapa orang kaya enggan berzakat, bershodaqoh berinfaq untuk mengentas kemiskinan. Ada berbagai alasan dan sebab yang bisa dikemukakan dalam menjawab masalah ini.

Pertama mereka beralasan bahwa zaman modern sudah ada sistem pajak yang teratur, oleh karena itu system zakat tidak perlu lagi, ini alasan yang dicari-cari untuk menghindari zakat, karena antara zakat dan pajak tidak sama. Pajak dikeluarkan untuk Negara sebagai kewajiban seorang warga Negara, sementara zakat adalah kewajiban seorang kaya kepada fakir miskin atau mereka takut jika harta yang dikeluarkan untuk membantu fakir miskin akan menjadi habis seperti pertimbangan sekuler.

Memang sejak dulu ayat yang berhubungan dengan zakat sudah ada manusia yang berusaha untuk mengelak untuk tidak mengeluarkan zakat, dengan alasan kalau harus dikeluarkan lagi zakat, maka tidak ada harta yang akan kami tinggalkan untuk anak cucu kami. Ketika Umar Bin Khattab membawa mereka atau masalah ini ke hadapan Rasulullah SAW, kemudian Rasulullah bersabda:


Sesungguhnya Allah mewajibkan zakat itu hanyalah agar harta yang masih sisa itu menjadi baik dan suci dengan mengeluarkan zakat tersebut. Dan wajib zakat itu hanya menjadi harta pusaka yang akan tetap kekal setelah kamu meninggal dunia.
[]

Kedua, karena kriteria Islam atau tidaknya seseorang atau kualitas kesalehan hidup seseorang biasanya diukur dari segi kualitas ibadah syahshiyah (bersifat pribadi) dari pada ibadah ijtima'iyah (kewajiban bersifat sosial). Dalam arti untuk menilai saleh/tidaknya seseorang, biasanya diukur dan segi ibadah shalatnya atau ibadah batinnya daripada ibadah zakat dan kewajiban shodaqah, infaq dan lainnya, sehingga tidak heran setiap tahun orang kaya berbondong-bondong mendaftarkan diri untuk menunaikan ibadah haji, bahkan ada yang menunaikan 4 sampai 5 kali. Padahal jelas Allah mengingatkan kepada kita bahwa kita harus menjamin hubungan dengan Allah secara vertikal dan juga menjalin hubungan kita dengan sesama manusia secara horizontal.

Ketiga, karena pengaruh globalisasi sekulerisasi, hedonisme materialisme, individualisme, sehingga harta orang kaya itu tanya dipakai dan lebih diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan keluarga sebagai kesenangan pribadi dan sebagainya. Sementara upaya untuk mengarahkan pada mengentas kemiskinan diabaikan.

Keempat, barangkali kurang percayanya orang-orang kaya pada pengelola zakat maal, shodaqah, dan infaq menyebabkan mereka enggan untuk mengeluarkan zakatnya. Zakat, infaq dan shodaqah sebagai ibadah sosial dalam rangka atau sebagai implementesi keimanan seseorang.

Manusia itu adalah makhluk sosial, ia tidak bisa hidup sendiri (saling membutuhkan). Keberhasilan seseorang karena berkat bantuan orang lain, keberhasilan seorang pejabat karena berkat bantuan orang tua, guru dan masyarakat.

Demikian pula keberhasilan searang pedagang karena pembali, keberhasilan petani karena berkat irigasi, alat-alat pertanian dan buruh dan sebagainya. Atas dasar itu maka sudah selayaknya orang-orang beriman yang kaya harus menyisihkan sebagian hartanya yang dititipkan Allah kepada fakir miskin, baik itu berupa zakat, shodaqah dan infaq. Dilihat dari pengertian zakat berarti kesucian dan pengembangan. Firman Allah:

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
[QS. at-Taubah (9): 103]

Dari ayat tersebut dapat diambil pelajaran bahwa:
  1. Dengan pembayaran zakat fitrah / maal / shodaqah maka harta itu menjadi suci bersih dari unsur-unsur haram. Sebaliknya bila tidak mengeluarkan zakat maka harta akan menjadi kotor, karena harta yang wajib dizakati itu pada hakekatnya bukanlah milik orang kaya, tetapi milik fakir-miskin yang oleh Allah dititipkan pada orang kaya.

  2. Mengikis habis sifat-sifat kikir di dalam jiwa seorang serta melatih memiliki sifat-sifat dermawan dan mengantarkan untuk mensyukuri nikmat Allah SWT, sehingga pada akhimya ia dapat mensucikan diri dan mengembangkan kepribadiannya.

  3. Menciptakan ketenangan dan ketentraman, bukan hanya kepada penerima, tetapi juga pada pemilik atau pemberi zakat, infaq dan shodaqah.

    Kedengkian dan iri hati dapat timbul dari mereka yang hidup dalam kemiskinan, pada saat melihat seseorang berkecukupan, apalagi tanpa mengulurkan tangan bantuan kepada mereka.

    Kedengkian itu dapat melahirkan permusuhan terbuka yang dapat mengakibatkan keresahan bagi pemilik harta, sehingga pada akhirnya menimbulkan ketegangan dan kecemasan.

  4. Mengembangkan harta benda.
    Pengembangan ini dapat ditinjau dari dua sisi:
    • Sisi spiritual, berdasarkan firman Allah:

      يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ

      Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.
      [QS. at-Baqarah (2): 276]

    • Sisi ekonomis psikologis, yaitu ketenangan batin dari pemberi zakat, shodaqah dan infaq akan mengeluarkan pada konsentrasi dalam pemikiran dan usaha pengembangan harta, di samping itu penerimaan zakat atau infaq dan shodaqah akan mendorong terciptanya daya beli dan produksi baru bagi produsen yang dalam hal ini adalah pemberi zakat atau infaq dan shodaqah.


Jadi zakat, infaq dan shodaqah merupakan salah satu bentuk ibadah ijtimaiyah (pengabdian / kepedulian sosial). Pembayaran zakat / infaq dan shodaqah itu harus dilakukan berdasarkan dorongan iman sehingga dengan amal tarsebut akan menentukan kualitas iman sosial, seseorang yang beriman. Demikian sebaliknya pembayaran zakat, shodaqah dan infaq bukan berdasarkan iman atau tujuan tertentu (interes tertentu) atau bukan karena Allah, maka walaupun sumbangan itu berjuta-juta dan bermilyaran tidak ada nilainya di sisi Allah dan Allah pasti murka baik di dunia maupun di akhirat.

Wallahu a'lam bish-showab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar