Sabtu, 08 Mei 2010

Mengolah Realitas Sosial

Oleh: Drs. Usman Kasim

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
[QS. al-Nahl (16): 90]

Dalam al-Qur'an, banyak ayat yang menjelaskan tentang tanggung jawab sosial terhadap sesama dan atau sebaliknya, demikian pula sunnah-sunnah Nabi. Hal ini sejalan dengan fitrah manusia yang diciptakan oleh Allah sebagai makhluk social. Namun dalam kenyataan kehidupan umat manusia, yang terjadi adalah ketimpangan sosial, yang dampaknya tidak hanya dirasakan oleh manusia secara keseluruhan tetapi juga oleh alam dan sistem ekologis, dimana manusia semestinya menjadikan alam dan lingkungan sebagai landasan dan sumber penghidupan; tapi ironisnya manusialah satu- satunya makhluk syahadah yang diberi amanah oleh Allah ternyata paling banyak melakukan tindakan asosial. Sedangkan makhluk selain manusia tidak satupun yang mau menerima amanah tersebut. Firman Allah sebagai berikut:

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh,
[QS. al-Ahzab (33): 72]

Ada dua aspek yang menjadi landasan untuk mengolah realitas sosial: (1) aspek subyektif dan (2) aspek obyektif.

Aspek Subyektif. Dua buah pusaka peninggalan Rasulullah SAW yang diwariskannya kepada seluruh umatnya:


"Kutinggalkan untuk kamu dua perkara (pusaka), tidaklah kamu akan tersesat selama- lamanya, selama kamu masih berpegang kepada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya."
[]

Al-Qur'an dan As-sunnah adalah dua sumber petunjuk hidup dan kehidupan riil umat Islam. Dengan kedua sumber inilah Rasulullah saw meletakkan dasar dan sekaligus membangun peradaban Islam yang kemudian dilanjutkan sahabat-sahabat besar dan umat Islam sesudahnya sampai masa suramnya sekitar abad 12 -13.

Hanya dalam kurun waktu yang relatif singkat (10 tahun) penyakit masyarakat (minuman keras, perzinaan, perbudakan, pelanggaran hak azasi manusia, kemiskinan dan lain sebagainya) dapat diberantas. Membebaskan umat manusia dari peradaban jahiliah menjadi masyarakat madani di bawah naungan Demokrasi Madinah (konstitusi tertulis pertama di dunia tahun ke-1 H / 623 M --- Wellhausen dan Caetani).

Menurut Strobe Talbolt Democracy and the Internastional Interest Negara AS yang terbentuk tahun 1776, memerlukan waktu 11 tahun untuk menyusun konstitusi, 89 tahun untuk menghapus perbudakan, 144 tahun untuk memberikan hak pilih kepada kaum wanita, dan 188 tahun untuk menyusun draf konstitusi yang 'melindungi' seluruh warga negara. Sungguh, sebuah sistim demokrasi materialis yang pembentukannya butuh banyak waktu dan uang (Lutfi Lukman Hakim 08/05/2002).

Mari kita bandingkan dengan Islam dan ajarannya, kemiskinan, perbudakan, pelanggaran HAM dan isu-isu kesetaraan gender, pluralisme dan lain sebagainya, semuanya dapat dientas dan diselesaikan dengan elegan dalam waktu yang singkat, dan semua umat atau masyarakat dapat merasakan dan menjalankan hak dan kewajibannya sebagai warga negara.

Bagaimana dengan ke-Indonesiaan kita ? Bukankah para founding fathers kita telah meletakkan dasar-dasar negara serta visi dan misi bangsa di bawah Kalimat Tauhid Ketuhanan Yang Maha Esa? Ini artinya segala perencanaan dan pelaksanaan pembangunan seutuhnya adalah bermuara kepada pengejawantahan cita-cita bangsa yakni menjadikan masyarakat yang adil dan berkemakmuran lantaran masyarakatnya beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Sebagaimana yang digambarkan dalam QS.Saba': 15, QS. al-Baqarah : 126 dan QS. al- A'raf : 96.

Aspek obyektif. Indonesia adalah negara orang beragama, artinya segala aspek kehidupan selalu dilandaskan pada ajaran Agama; yang meng-ajar-kan keselamatan kedamaian, hidup berdampingan dan saling tolong-menolong. Juga negara hukum karena itu rakyatnya harus taat pada hukum dan sebaliknya negara juga harus mampu menjamin hak hukum setiap warga negara.

Ada dua faktor yang melandasi betapa pentingnya pengelolaan realitas sosial. Yang Pertama. Faktor Internal ialah yang berkaitan dengan aneka ragam faham amalan kaum muslimin di Indonesia, karena berbagai sebab; melihat dan menjadikan Islam hanya sebagai simbol status, bukan sebagai oksigen dalam kehidupan. Ada sebahagian kaum muslimin yang sedang berjalan maju, ada yang sedang berjalan di tempat, bahkan ada yang sedang berjalan mundur. Iqbal seorang pemikir dan pembaharu Islam dari Pakistan mengatakan: "Di jalan ini tidak ada tempat untuk berhenti, siapa yang berjalan dialah yang maju dan yang berhenti akan digilas oleh waktu."

Kedua. Faktor eksternal ialah yang berkaitan dengan politik Negara-Bangsa, pengaruh globalisasi, kemajuan serta loncatan informasi yang begitu cepat, kesemuanya pasti berdampak pada setiap aspek kehidupan, termasuk di dalamnya adalah hilangnya fitrah beragama, dan cara pandang kita terhadap fitrahnya alam.

Bagi orang yang selalu melandaskan hidupnya pada al-Aqidah dan jalan hidup berupa al -Islam, maka akan lahir al-Ihsan (akhlak/moral) dalam kehidupan sehari-hari dalam kapasitas sebagai apapun, serta kapan dan dimanapun dia berada. Dia akan memberikan semua potensi yang terbaik dalam hidupnya sebagai wujud proklamasi yang pernah terucap di hadapan Allah, sebagaimana yang tercantum dalam firman-Nya:

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.
[QS. al-An'am (6): 162]

Bagi institusi sebagai Negara-Bangsa semua potensi sosial yang tumbuh dan berkembang adalah sumbangsih dari rakyat, maka para pemimpin harus cerdas membaca dan meramunya menjadi sebuah simfoni yang dimainkan dalam sebuah orkestra (hasil dari jihad pembangunan) untuk dinikmati bersama.

Bagi sebuah Agama seperti Islam atau agama apapun di dunia ini tantangan yang terberat adalah relevansi sosial. Meminjam konsep Tauhid Sosial-nya Amin Rais, dia pernah mengatakan:


"Kalau sebuah agama sudah kehilangan relevansi sosial, maka pelan-pelan agama itu akan pudar. Maka Islam sebagai sebuah agama harus mampu mereformulasi kembali norma-norma atau ajaran-ajarannya yang fitrah se-fitrah alam dan fenomena yang ada di dalamnya, yang kemudian dikemas dalam tataran yang konkrit sehingga dapat menyentuh kebutuhan dasar manusia dari segala lapisan masyarakat. Jangan sampai Islam hanya ada di dataran teologi yang mengawang-awang"
[Membumikan islam Buya Syafi'i Ma'arif]

Sungguh indah perumpamaan yang telah digambarkan oleh Allah SWT secara metaforis dalam QS. Ibrahim: 24-25:

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ
تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit,
pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.
[QS. Ibrahim (14): 24-25]

Sebaliknya Allah SWT memberikan gambaran yang terbalik, apabila manusia tidak menggunakan kalimat yang baik dalam menata atau mengolah kehidupan sosialnya, sebagaimana tercantum dalam QS. Ibraham: 26-27 sebagai berikut:

وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبِيثَةٍ اجْتُثَّتْ مِن فَوْقِ الْأَرْضِ مَا لَهَا مِن قَرَارٍ
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ

Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun.
Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.
[QS. Ibrahim (14): 26-27]

Seperti apa yang juga pernah dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib dalam atsarnya: "Al-Haqqu bilaa nidzoomin, sayaghlibul baathil bi nidzoomin" Sesuatu yang haq, kalau tidak diorganisir atau dikelola dengan baik, maka akan dikalahkan oleh kebathilan yang diorganisir atau dikelola dengan baik."

Wallahu a'lamu bish-showwab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar